Fukuzawa
Yukichi (福澤 諭吉), lahir di Osaka, 10 Januari 1835 – meninggal di Tokyo, 3 Februari 1901 pada umur 66 tahun) adalah penulis Jepang, ahli rangaku sekaligus samurai Domain Nakatsu, penerjemah, pengusaha, dan pengajar yang
mendirikan Universitas Keio. Ia dua kali diberangkatkan ke Amerika
Serikat sebagai anggota delegasi Jepang, dan melakukan perjalanan ke Eropa,
setahun sebelum Restorasi Meiji (1868).
Fukuzawa
menerbitkan banyak sekali buku dan artikel, di antaranya Gakumon no Susume
(Dorongan untuk Belajar) (1872-1876) dan Bunmeiron no Gairyaku
(Garis Besar Teori Peradaban) (1875). Kalimat pembuka Gakumon no Susume dikenal
anak-anak sekolah di Jepang, "Langit tidak menciptakan seseorang dengan
harkat di atas atau di bawah orang lainnya."
Sebagian
besar tulisannya diterbitkan oleh penerbit universitas atau surat kabar Jinji Shimpo yang didirikannya
pada tahun 1882. Ia juga menulis berbagai esai dan satire mengenai
isu-isu kontemporer di bidang politik, hubungan
internasional,
masalah ekonomi
dan keuangan,
kebijakan pendidikan,
persamaan hak wanita, dan moralitas.
Prinsip utama baginya dalam dirangkum dalam satu kata, yakni kemerdekaan. Ia percaya bahwa kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan negara adalah landasan sesungguhnya bagi masyarakat modern di Barat. Dalam mencapai kebebasan pribadi, Fukuzawa lebih mengutamakan metode ilmiah dan praktis dari Barat daripada studi tradisional Cina klasik. Semakin banyak orang-orang berpendidikan, maka kebebasan nasional makin tertanam, dan kebajikan publik serta moralitas sosial meningkat dengan sendirinya.
Ia adalah salah seorang anggota pendiri kelompok intelektual Meirokusha, dan ketua pertama Tokyo Academy. Ide-idenya tentang pemerintah dan lembaga-lembaga sosial memengaruhi modernisasi Jepang dalam zaman Meiji. Ia dianggap sebagai salah seorang pendiri Jepang modern. Sejak tahun 1984, lukisan potretnya menghiasi uang kertas pecahan terbesar di Jepang, 10.000 yen.
Masa kecil
Monumen di bekas gudang Domain Nakatsu dan tempat kelahiran Fukuzawa
Yukichi di Osaka.
Fukuzawa
Yukichi dilahirkan sebagai putra kedua (anak bungsu dari 5 bersaudara) pada 10 Januari tahun 1835 di
Dojimahama (sekarang Hotarumachi, Fukushima-ku), Osaka. Ayahnya
bernama Fukuzawa Hyakusuke, samurai berpangkat rendah klan Okudaira di Kyushu, dan ibunya
bernama Ojun. Tempat kelahirannya adalah bangunan pergudangan milik Domain Nakatsu (Provinsi Buzen) di Osaka yang waktu itu merupakan pusat perdagangan
Jepang. Jabatan ayahnya adalah bendaharawan kelas rendah di kantor gudang
Domain Nakatsu di Osaka. Ketika ia lahir, ayahnya yang juga cendekiawan Konfusius sedang bergembira karena beruntung mendapatkan 60
jilid buku Shang Yu Tiao Li (lafal bahasa Jepang: Jōyu Jōrei. 上諭条例, Undang-undang Dinasti Qing pada masa pemerintahan Kaisar Qianlong) yang sudah lama diidamkannya. Salah satu aksara kanji dari buku
tersebut, Yu (諭) digunakan sebagai nama bayinya
yang baru lahir.
Ayahnya
meninggal dunia pada tahun 1836 ketika Yukichi masih berusia 1
tahun 6 bulan. Ibunya lalu kembali ke Nakatsu dengan membawa serta lima anak
(dua laki-laki dan tiga perempuan). Keluarganya hidup dalam kemiskinan karena
uang pensiun ayahnya tidak mencukupi. Peran sebagai kepala keluarga digantikan
oleh kakak laki-lakinya. Penghasilan ditambah dengan bekerja serabutan di
rumah. Keluarganya tidak memiliki uang untuk memasukkannya ke sekolah. Yukichi
sendiri bekerja membetulkan sandal, shōji, atap bocor, dan segala macam pekerjaan
pertukangan. Sejak kecil ia senang minum sake, namun
tidak bisa berenang dan memanjat pohon. Ia dijadikan anak angkat oleh pamannya,
sehingga pernah memakai nama Nakamura Yukichi (中村諭吉).
Tidak
seperti anak-anak samurai yang belajar sastra Cina klasik dan ajaran Konfusianisme, Yukichi tidak senang buku, dan baru malu tidak bisa
membaca dan menulis ketika berumur 14 atau 15 tahun. Setelah 10 tahun terlambat
masuk sekolah, ia mulai belajar sastra klasik Cina dari Shiraishi Tsunendo. Ia
menguasai betul buku Zuo Zhuan (bahasa Jepang: Shunjū Sashiden).
Nakamura Shōbei mengajarinya seni pedang iaido. Meskipun
pandai di kelas, derajatnya sebagai anak samurai kelas rendah membuatnya dilecehkan
di luar kelas. Ketika bermain dengan teman sekelas, ia menjadi sasaran
kesombongan anak-anak samurai dari kelas sosial yang lebih tinggi. Sejak kecil,
ia sudah merasakan dan sangat membenci masyarakat feodal yang tidak
memungkinkan orang untuk berpindah kelas.
Sejak usia
12 atau 13 tahun, ia mulai tidak percaya dengan agama Shinto atau agama Buddha, dan menjadi ateis seumur
hidupnya. Sewaktu kecil ia membuka kotak di kuil Inari, dan batu yang merupakan objek pemujaan digantinya
dengan batu lain yang dipungutnya dari jalan.
Belajar Rangaku di Nagasaki
Berita kedatangan armada Kapal Hitam dan Komodor Matthew Perry di Edo pada bulan Juli 1853 membuat cemas
semua orang, tidak terkecuali para samurai dan orang biasa di kota terpencil.
Samurai yang dapat menguasai meriam buatan
Barat menjadi sangat dibutuhkan. Belajar meriam buatan Barat berarti harus
menguasai bahasa Belanda karena buku petunjuknya ditulis
dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1854, Yukichi
yang berusia 21 tahun disuruh kakak laki-kalinya untuk belajar bahasa Belanda di pos perdagangan Belanda di Dejima, Nagasaki. Kesempatan itu diberikan kepadanya agar nantinya
dapat ikut berperang. Namun Yukichi tidak memiliki gambaran sama sekali tentang
bahasa Belanda yang akan dipelajarinya, atau ancaman dari luar yang sedang
mengancam Jepang. Ia hanya ingin pergi dari Nakatsu.
Yukichi tiba
di Nagasaki pada bulan Februari 1854. Anak dari seorang karō Domain
Nakatsu, Okudaira Iki mempunyai
saudara yang menjadi biksu di Kōei-ji, sebuah kuil Buddha di Nagasaki. Iki
mengajak Yukichi menumpang di Kōei-ji bersamanya selama mereka belajar meriam
dan bahasa Belanda. Pada tahun 1855, Yukichi
diterima magang di rumah Yamamoto Monojirō, pejabat pemerintah yang bekerja
sebagai instruktur meriam. Yamamoto yang mengajarinya meriam dan bahasa Belanda
ternyata tidak pandai berbahasa Belanda. Di rumah keluarga Yamamoto, Yukichi
mengajari anak-anak membaca, dan menjadi pembantu rumah tangga. Ia begitu
disenangi oleh keluarga Yamamoto sehingga ingin dijadikan anak angkat. Tawaran
itu ditolaknya karena sebelumnya sudah pernah dijadikan anak angkat.
Meskipun
Yukichi tidak mendapat banyak kemajuan dalam belajar rangaku di Nagasaki, Yukichi lebih cepat pandai sehingga
Okudaira Iki menjadi iri hati kepadanya. Iki mengarang cerita bohong dan
memperlihatkan surat palsu kepada Yukichi. Isi surat berisi permintaan agar
Yukichi pulang ke Nakatsu karena ibunya sakit. Ia tahu bahwa surat itu palsu,
namun tetap memutuskan pergi dari Nagasaki pada tahun 1855. Ketika itu,
Sonnosuke, kakak tertua Yukichi sudah bekerja di Osaka mewarisi pekerjaan sang
ayah.
Bersekolah di Tekijuku
Perjalanan
dengan perahu melintasi Laut Pedalaman Seto memakan waktu dua minggu karena
perahu singgah di berbagai tempat. Ia turun di tengah perjalanan, dan berjalan
kaki dari Akashi hingga sampai di Osaka. Ia
menumpang menginap di pergudangan Domain Nakatsu tempat kakak tertuanya
bekerja. Yukichi hanya bermaksud singgah di Osaka sebelum melanjutkan
perjalanan untuk bersekolah di Edo. Namun niatnya batal setelah dibujuk kakaknya
menetap di Osaka dan bersekolah di Tekijuku.
Yukichi
belajar rangaku di Tekijuku dari tahun 1855 hingga 1857. Tekijuku
adalah sekolah kedokteran yang dikelola dokter bernama Ogata Koan. Pada tahun
berikutnya, Yukichi dan kakaknya terkena demam tifoid, dan pulang ke Nakatsu untuk beristirahat hingga
sembuh.
Pada bulan
Agustus 1856, ia kembali ke Osaka untuk melanjutkan sekolahnya di Tekijuku.
Kakak tertuanya tak lama kemudian meninggal dunia karena sakit. Yukichi harus
pulang ke Nakatsu untuk menggantikan Sannosuke sebagai kepala keluarga, dan
kembali menggunakan nama sebelumnya, Fukuzawa Yukichi. Pekerjaan ayah dan kakak
tertua tidak dapat diwariskan olehnya karena ia tidak berpengalaman sebagai
bendahara. Walaupun sudah bekerja sebagai penjaga istana di Nakatsu,
keinginannya untuk melanjutkan sekolah tidak terbendung. Sewaktu berada di
Nakatsu, buku bahasa Belanda mengenai arsitektur benteng (Handleiding tot de
kennis der versterkings-kunst oleh C.M.H. Pel, 1852) dipinjamnya dari
Okudaira Iki untuk disalin dan diterjemahkan (buku tersebut nantinya tidak
pernah diterbitkan). Setelah perabot rumah dan koleksi buku ayahnya dijual
untuk membayar utang, Fukuzawa berangkat pada akhir tahun 1856 untuk
melanjutkan sekolah di Tekijuku. Ia hampir-hampir tidak memiliki uang untuk
membayar uang sekolah.
Pada tahun 1857, ia
mencatat prestasi sebagai murid terpandai di sekolah. Autobiografi yang
ditulisnya di kemudian hari berisi tentang masa-masa sekolahnya di Tekijuku.
Buku pelajaran di Tekijuku semuanya berbahasa Belanda. Pelajaran yang
diikutinya adalah fisika, kedokteran, biologi, kimia, fisiologi, dan menyalin buku. Ia juga melakukan berbagai
eksperimen, termasuk eksperimen kelistrikan Faraday.
Pindah ke Edo
Pada tahun 1858, Fukuzawa
diminta oleh Pemerintah Domain Nakatsu untuk pergi ke Edo sebagai pengajar
bahasa Belanda. Setelah berpamitan dengan ibunya di Nakatsu, Fukuzawa berangkat
ke Edo pada musim gugur 1858. Ia mengajak rekannya yang juga lulusan Tekijuku,
Okamoto Shūkichi (nantinya berganti nama menjadi Furukawa Setsuzō atau Furukawa Masao). Di dalam kompleks kediaman klan Okudaira, Fukuzawa
membuka sekolah rangaku pada tahun 1858 dengan siswa yang terdiri dari para
samurai Domain Nakatsu. Hingga 10 tahun sesudah didirikan, sekolah ini tidak
memiliki nama resmi, dan dikenal dengan nama Fukuzawa Juku.[8] Di kemudian hari sekolah ini disebut Universitas Keio, dan tahun 1858 diperingati sebagai tahun pendirian
Universitas Keio.
Pada bulan
Juli 1859, tiga pelabuhan di Jepang dibuka untuk perdagangan
dengan kapal-kapal asing sesuai Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan yang ditandatangani antara Amerika
Serikat dan Jepang tahun sebelumnya. Tidak lama setelah itu, Fukuzawa
berjalan-jalan ke permukiman orang asing di Kanagawa (sekarang Yokohama). Ia kecewa karena tidak mengerti tulisan pada
papan-papan nama yang ditulis dalam bahasa Inggris. Bahasa Belanda yang dikuasainya juga tidak dapat
dipakainya untuk berkomunikasi karena satu-satunya bahasa asing di sana adalah
bahasa Inggris.
Ia merasa
perlu belajar bahasa Inggris, dan mulai belajar secara otodidak. Perpustakaan
Kaiseijo (nantinya disebut Universitas
Kekaisaran Tokyo) adalah
tempatnya membaca-baca kamus bahasa Inggris. Namun karena kamus itu tidak dapat dipinjam ke luar, ia akhirnya membeli
sendiri kamus bahasa Inggris-Belanda. Kemajuannya belajar bahasa Inggris
sangat lambat karena waktu itu tidak ada guru dan kamus yang baik.
Perjalanan ke Amerika Serikat
Delegasi Jepang ke Amerika Serikat dengan Kanrin Maru (1860), dari kanan ke kiri: Fukuzawa Yukichi, Okada Seizō, Hida Hamagorō, Konagai Gohachirō, Hamaguchi Okiemon, Nezu Seikichi.
Dalam rangka
pertukaran instrumen ratifikasi Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan, Keshogunan Edo pada tahun 1860 memutuskan
untuk mengirimkan delegasi Jepang ke Amerika Serikat. Kapal Kanrin Maru dibeli keshogunan dari Belanda untuk membawa delegasi
ke Amerika. Fukuzawa melihat kesempatan untuk belajar bahasa Inggris di
Amerika. Ia menghubungi komandan kapal Kimura Yoshitake, menawarkan dirinya sebagai sukarelawan, dan tanpa kesulitan diterima
sebagai pengawal.
Pelayaran Kanrin
Maru adalah peristiwa bersejarah bagi orang Jepang yang berusaha melintasi
Samudra Pasifik tanpa bantuan orang asing. Setelah 37 hari pelayaran di tengah
rangkaian badai, Kanrin Maru tiba di San Francisco pada musim semi 1860. Pencapaian terpenting Yukichi
selama sebulan di San Francisco adalah sebuah kamus Webster's English Dictionary yang dibelinya atas saran John Manjiro.
Sekembalinya
dari Amerika Serikat, Fukuzawa meneruskan pekerjaan sebagai guru. Bahasa
Inggris ditambahkannya ke dalam kurikulum sekolah tempatnya mengajar, dan siswa
di sekolahnya makin bertambah. Kantor hubungan luar negeri keshogunan
mempekerjakannya sebagai penerjemah dokumen diplomatik. Pada tahun 1860, ia
juga menerbitkan buku pertamanya, Zōtei Ka-Ei Tsūgo (Kamus Lengkap
bahasa Cina-Inggris). Kamus bahasa Kanton-Inggris Ka-Ei Tsugo karya Zi Qing yang dibelinya di
San Francisco, diberi tambahan padanan kata dalam bahasa Inggris, bahasa
Jepang, dan katakana untuk cara
membaca. Katakana ウ dan ワ dengan dakuten (ヴ dan ワ゛) dipakainya
untuk melambangkan bunyi /v/. Pada tahun 1861, Fukuzawa
menikah dengan Okin, anak perempuan keluarga samurai kelas atas Domain Nakatsu.
Perjalanan ke Eropa
Pada akhir tahun 1861, ia diberangkatkan sebagai salah
seorang anggota delegasi ke negara-negara Eropa. Setelah singgah di Nagasaki,
kapal berangkat ke Eropa pada 1 Januari 1862 melalui Samudra Hindia, Laut Merah, Terusan Suez, dan Laut Tengah sebelum tiba di Marseille. Delegasi bertugas menegosiasikan penundaan pembukaan pelabuhan tambahan
untuk perdagangan dengan kapal asing, dan perubahan kurs nilai tukar. Walaupun
misi tidak berhasil, ia berkesempatan berjalan-jalan ke Perancis, Inggris, Belanda, Prusia, Rusia, dan Portugal. Dalam tugasnya sebagai sebagai penerjemah delegasi,
banyak hal-hal baru yang menarik perhatiannya, mulai dari rumah sakit, arsenal, pertambangan, dan sekolah. Ia kembali dari Eropa pada akhir tahun 1862.
Berdasarkan hal-hal yang dilihat dan dibacanya selama perjalanan, Fukuzawa
menerbitkan volume pertama Seiyō Jijō (Keadaan
di Barat) yang menjadi buku laris.
Fukuzawa
menyadari kemajuan teknologi berperan penting terhadap kemakmuran yang
dilihatnya di Eropa. Ia mulai yakin bahwa perubahan revolusioner dalam
pengetahuan masyarakat dan cara berpikir adalah persyaratan mendasar untuk
kemajuan serupa di Jepang. Sewaktu di London, ia
mengirim sepucuk surat kepada temannya di Jepang. Isi surat memberitakan bahwa
pekerjaan paling mendesak untuk dilakukan di Jepang adalah mendidik anak muda
yang berbakat, dan bukannya membeli mesin-mesin dan persenjataan. Ia memutuskan
untuk menunda penulisan volume kedua Seiyō Jijō, dan beralih
menerjemahkan buku Political Economy karya John Hill Burton yang diterbitkannya pada tahun 1867.
Pengamatannya
tentang kehidupan di Barat yang berhasil menjadi buku laris merupakan indikasi
minat dan toleransi orang Jepang terhadap dunia Barat. Meskipun demikian, di
Jepang waktu itu terdapat kelompok yang berkeinginan mengusir orang asing
("barbar") dan menyingkirkan ilmuwan Jepang yang tertarik dengan
studi Barat. Pendukung pemikiran Barat seperti Fukuzawa Yukichi dalam ancaman
untuk dibunuh oleh kelompok ronin pendukung slogan Sonnō-jōi
("Dukung Kaisar, Usir Orang Barbar"). Keadaan begitu berbahaya
sehingga Fukuzawa tidak pernah keluar rumah di waktu malam. Ōmura Masujirō tewas
sebagai korban pembunuhan pada tahun 1869.
Fukuzawa
pergi untuk kedua kalinya ke Amerika Serikat pada tahun 1867. Kali ini sebagai
anggota delegasi ke Washington, D.C. dan New York untuk melakukan negosiasi pembelian sebuah kapal
perang dari Amerika Serikat. Ia berkesempatan mengunjungi kota-kota di Pantai
Timur Amerika Serikat. Sebagai oleh-oleh dari Amerika, ia membeli buku teks
sebanyak-banyaknya untuk disalin oleh murid-muridnya di Jepang.
Keio Gijuku
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Universitas Keio
Setelah tiba
kembali di Jepang, Fukuzawa pada tahun 1868 memindahkan
kegiatan belajar ke bekas kompleks permukiman klan Arima di Shiba Shinsenza
(sekarang Hamatsuchō, distrik Minato). Pada
tahun yang sama, nama sekolah juga diganti menjadi Keio Gijuku (sekarang Universitas Keio). Fukuzawa mengubah sekolah swasta
milik Domain Nakatsu menjadi sekolah swasta zaman modern. Nama Keiō
diambilnya dari nama zaman waktu itu.
Kegiatan
belajar di Keio Gijuku terus berlangsung bahkan ketika terjadi bentrokan antara
pendukung kekaisaran dan tentara keshogunan dalam Pertempuran Ueno 1868 di Edo. Ia tatap memberi kuliah mengenai teori ekonomi politik dari Francis Wayland seperti
biasa. Kepada siswanya yang hadir (berkurang dari 100 orang menjadi 18 orang),
ia berkata, "Apapun yang terjadi di negara ini, perang apa pun yang
melanda negeri ini, kita tidak akan berhenti belajar ilmu-ilmu Barat. Semasa
sekolah kita tetap berdiri, Jepang tetap sebuah negara beradab di dunia."
Pasca-Restorasi Meiji
Setelah Keshogunan Tokugawa tumbang, pemerintah baru
Meiji mengajak Fukuzawa untuk menjadi pegawai pemerintah. Ia menolak tawaran
tersebut, dan tidak pernah lagi menduduki jabatan dalam pemerintahan atau
mendapat penghargaan dari pemerintah.
Pada
tahun-tahun berikutnya, perhatiannya hanya mengajar di Keio atau mendirikan
sekolah modern yang baru di tempat-tempat lain. Ia juga menerjemahkan dan
menulis pamflet mengenai Barat, serta buku teks dasar mengenai berbagai macam
topik, mulai dari fisika, geografi, militer, Parlemen Inggris, dan hubungan luar negeri.
Serangkaian
esai yang ditulis dan diterbitkan antara tahun 1872 dan 1876 dirangkum
dalam Gakumon no Susume (Dorongan untuk Pembelajaran). Esai pertama merupakan manifestasi
pandangannya terhadap masyarakat umum. Kalimat pembuka berbunyi, "Langit
tidak menciptakan seseorang dengan harkat di atas atau di bawah orang lainnya.
Perbedaan antara orang bijak dan orang bodoh, antara kaya dan miskin, hanya
disebabkan soal pendidikan.”
Pada tahun 1879, Fukuzawa
Yukichi dipilih sebagai ketua pertama lembaga cendekiawan Tokyo Gakushi Kain-in
(sekarang The Japan Academy). Ia termasuk salah seorang pendiri Senshu Gakkō pada tahun 1880 (sekarang Universitas Senshu). Sekolah akunting yang dimilikinya dan gedung Meiji Kaidō diberikannya
sebagai kampus Senshu Gakkō. Pada 1881, ia ikut
mendirikan perusahaan kereta api swasta, Nippon Tetsudō Kaisha (Nippon Railway).
Harian Jiji Shimpo
diterbitkannya pada 1 Maret 1882. Dalam
artikel inaugurasi, Fukuzawa menyatakan bahwa surat kabarnya berhaluan
independen dan tidak memihak. Sebagian besar tulisannya sejak itu diterbitkan
dalam Jiji Shimpo, mulai dari artikel serius hingga satire. Ia
mengangkat semua isu kontemporer, seperti politik, masalah dalam dan luar
negeri, ekonomi politik, pendidikan, dan kebijakan pendidikan, serta soal
moralitas, terutama hak-hak wanita. Kumpulan tulisannya dalam Jiji Shimpo
mengisi hampir setengah dari Kumpulan Karya Fukuzawa (Fukuzawa Zenshū)
yang terdiri dari 22 volume.
Keio Gijuku
secara resmi membuka universitas pada bulan Januari 1890 dengan
dibukanya tiga jurusan, sastra, ekonomi, dan hukum. Pada bulan November 1892, Fukuzawa
mengeluarkan modal untuk mendirikan Densenbyō Kenkyū-jo (sekarang Institut Ilmu
Kedokteran, Universitas Tokyo) dengan Kitasato Shibasaburō sebagai kepala.
Meninggal dunia
Ia masuk rumah sakit karena perdarahan
intrakranial pada 26
September 1898. Setelah sempat pulih, ia kembali jatuh sakit pada 25 Januari
1901. Fukuzawa Yukichi meninggal dunia
dalam usia 66 tahun di rumah kediamannya di kampus Mita Keio Gijuku, 3 Februari
1901. Sebuah monumen peringatan didirikan di tempat bekas rumah kediaman
Fukuzawa Yukichi. Ia meninggalkan 9 orang anak (4 laki-laki dan 5 perempuan).
Putra pertama Ichitarō lahir 22 November 1863) diikuti putra kedua, Sutejirō pada 9 November
1865. Anak ke-8 dan anak ke-9 (keduanya
laki-laki) masing-masing lahir pada 14 Juli 1881 dan 24 Juli 1883.
Makamnya berada di Hongan-ji, Desa Osaki Prefektur Tokyo
sebelum dipindahkan pada tahun 1977 ke Zenpuku-ji, Azabu, Tokyo. Peringatan hari meninggalnya setiap 3 Februari disebut
Yukichi-ki (雪池忌). Pada hari itu, staf Universitas Keio
beramai-ramai melakukan ziarah ke makamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar